KOMISI IX DPR MINTA UU PENGAWASAN TENAGA KERJA TIDAK DIOTONOMISASI
Anggota DPR dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengusulkan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan koordinasi terkait pengawasan tenaga kerja, sehingga pengawasan tidak diotonomisasi kepada daerah.
Menurut Rieke, pegawai pengawas ketenagakerjaan harus memiliki kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan UU Ketenagakerjaan di lapangan.
“Saat Raker dengan Menaker, Komisi IX telah meminta dan mendorong jalannya pengawasan terhadap ketenagakerjaan ini” terangnya saat Komisi IX DPR mengadakan RDPU dengan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Seluruh Indonesia (FSP KEP) dan Perwakilan 519 eks karyawan PT. Marga Nurindo Bhakti yang dipimpin Wakil Ketua Komisi IX Ahmad Nizar Shihab, di Gedung Nusantara I, Senin, (30/11).
Sementara Zulmiar Yanri dari Fraksi Partai Demokrat, mengatakan bahwa pengawasan ketenagakerjaan sudah ada UU Nomor 3 Tahun 1951 yang diperkuat dengan UU Nomor 21 tahun 2003 tentang ratifikasi konvensi ILO, dimana diamanahkan setiap unit ketenagakerjaan harus melakukan pengawasan.
“Jadi bapak-bapak dan ibu-ibu di tingkat pusat, nasional bisa meminta kepada pemerintah daerahnya melakukan ini. Jika pengawasannya kurang dan jika digantungkan dengan anggaran Depnakernya sendiri memang tidak mencukupi. Maka ada jalan keluar, bahwa pemda yang membutuhkan pengawas tenaga kerja itu mengadakan anggaran sendiri dan itu sudah dilaksanakan seperti Aceh, Jawa Barat Ria dan Banten, Jatim” papar Zulmiar.
Dia menyarankan, untuk segera melakukan pembinaan terhadap hak-hak anggota serikat pekerja di bidang K3 agar sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1970 dan jika itu yang dilakukan ada ayat yang menjamin untuk mogok bila K3 tidak dipersiapkan dengan baik.
Pada kesempatan tersebut, FSP KEP menyampaikan berbagai hal mengenai masalah ketenagakerjaan, antara lain mengenai aspek ruang pekerjaan, kepastian kerja, perlindungan terhadap tenaga kerja dan jaminan sosial dan kesehatan bagi masyarakat pekerja khususnya dalam keluarga besar FSP KEP, yang sampai saat ini belum ada perubahan signifikan sebagaimana yang diharapkan.
FSP KEP menilai terdapat perubahan didalam norma-norma hukum dalam ketenagakerjaan yang sudah kita laksanakan diantaranya perubahan tentang serikat pekerja melalui UU Nomor 21 tahun 2000, UU Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) melalui UU Nomor 2 tahun 2004 termasuk didalamnya UU tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Secara tegas, FSP KEP menegaskan, UU yang baru, belum secara menyeluruh dapat mewujudkan masyarakat pekerja yang memiliki hak hidup yang lebih layak sebagaimana yang diharapkan semua karyawan.
Berkaitan dengan hal tersebut FSP KEP menyampaikan gagasan dalam rangka mengkaji ulang UU Ketengakerjaan diantaranya pertama UU No.3 tahun 1951 tentang Pengawasan Tenaga Kerja. Dimana kita tahu semenjak otonomi daerah pengawasan ini diberikan kewenangan dalam penempatannya adalah oleh Bupati, Walikota termasuk didalamnya oleh Gubernur, yang dulunya pegawai pengawas ditempatkan atau dikendalikan oleh Menaker. Namun Dengan adanya otonomi daerah, bidang pengawasan sungguh memprihatinkan, sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam.
Kedua, UU tentang kebebasan berserikat, dimana sampai hari ini sekalipun UU telah memberika ruang dan kesempatan berserikat, ternyata semenjak era reformasi jumlah keanggotaan serikat perkerja ditingkat lem level tidak ada peningkatan tapi jumlah serikat pekerja ditingkat pusat bertambah.
Ketiga, UU tentang PHI ini membuat birokrasi bagi kalangan pekerja yang sangat sulit untuk melaukan beracara ditingkat pengadilan hubungan industrial.
Menanggapi permasalahan yang disampaikan oleh FSP KEP, anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar Endang Agustini Syarwan Hamid menyatakan prihatin atas kondisi yang terjadi saat ini.
“Kami sangat prihatin, sekarang antara pengusaha dan pekerja kadang-kadang tidak ada keserasian. Isu yang berkembang tidak hanya di kalangan pekerja, di kalangan masyarakat luas juga terjadi bahwa investor itu tidak mau menginvestasikan modalnya untuk ditanam di Indonesia, karena berkaitan dengan pekerja” paparnya.
Menurut Endang, bukan hanya pengusaha dan pekerjanya saja yang tahu, kita semua juga tahu. Artinya bagaimana menciptakan solusi agar persoalan ini tidak menjadi hal-hal yang tidak berkembang terus menerus. “Ini bukan hanya merugikan pekerja, tapi merugikan bangsa Indonesia. Kalau peluang sumber daya alam cukup besar, sumber daya manusia juga cukup banyak. Tapi kalau tidak ada kerjasama yang baik saya kira apapun yang ada tidak menjadi manfaat buat kita semuanya,” terang Endang. (sc)